“Sebagai seorang muslim, kamu sudah pernah membunuh berapa orang?”
Begitu lah salah satu kisah Najwa Shihab, ketika mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan saat melakukan shalat di ruangan salah satu perpustakaan Amerika. Saat itu ia tengah menjadi peserta pertukaran pelajar di Amerika selama satu tahun. Kisah ini menjadi salah satu pengalaman yang kurang mengenakkan saat berkunjung ke negeri Paman Sam. Namun demikian, ia menjadikan hal itu sebagai pelajaran yang berharga.

Nana, panggilan akrabnya, merasakan betul menjadi seorang minoritas di Amerika. Ia tinggal di tengah keluarga penganut katolik. Menjadi seorang muslim di antara para penganut Katolik merupakan pengalaman yang sangat langka baginya.
Walaupun ibu dan keluarga angkatnya di Amerika penganut Katolik, putri Quraish Shihab ini sama sekali tidak pernah mengalami intimidasi terkait agamanya. Malah ibu angkatnya pernah menemaninya puasa bulan Ramadhan, membuatkannya hidangan sahur dan buka, bahkan pernah mengantarnya menuju masjid yang lokasinya sangat jauh dari kota, hanya untuk menunaikan shalat Idul Fitri.
Pengalaman menjadi minoritas seperti ini, menurut Najwa harus dirasakan oleh orang-orang yang ingin belajar toleransi. Karena toleransi tak cukup hanya dipelajari dan disosialisasikan, melainkan harus dirasakan. Bukan sebagai mayoritas, melainkan sebagai minoritas seperti yang pernah ia alami.
“Toleransi, sebuah kata yang seperti lalat, terdengar dengungnya, tapi tak selalu kita lihat wujudnya. Toleransi harus dialami dan diwujudkan tak sebatas diajarkan atau disosialisasikan. Salah satunya lewat pengalaman hidup menjadi minoritas,” tuturnya dalam Convey Day 2021 yang diselenggarakan oleh Convey dan PPIM UIN Jakarta.