Siapa yang tidak mau ibadah yang dilakukannya semalam sama nilainya dengan ibadah selama 83 tahun 4 bulan? Tentu ini jauh lebih ‘menggiurkan’ daripada kerja semalam digaji layaknya kerja 83 tahun 4 bulan. Bahkan tak bisa dibandingkan sama sekali, karena yang pertama ukhrawi sementara yang kedua duniawi. Belum lagi doa di malam lailatul qadar sangat potensial –kalau bukan sesuatu yang pasti- untuk dikabulkan.
Tapi kebanyakan orang ingin sesuatu yang instan. Kalau bisa dipermudah mengapa mesti dipersulit. Begitu kira-kira slogan mereka. Walau ada juga yang punya slogan sebaliknya, kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah.
Banyak orang suka jalan pintas. Daripada susah-susah ‘begadang’ sebulan penuh di malam-malam Ramadhan, akan lebih baik kalau kita cari tahu pada malam keberapa persisnya, atau setidaknya dugaan terkuatnya, lailatul qadar itu terjadi.
Bukalah kitab-kitab hadits. Yang paling mudah dijangkau adalah kitab Fathul Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani –رحمه الله- yang dijuluki sebagai ‘kamus sunnah’. Ternyata, menurut Ibnu Hajar, ada lebih dari empat puluh (40) pendapat tentang kapan terjadinya lailatul qadr. Jumlah yang tidak sedikit untuk melakukan tarjih.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa lailatul qadar hanya terjadi saat Alquran turun pertama kali. Sekali itu saja. Setelah itu tidak ada lagi. Ada yang mengatakan bahwa lailatul qadar terjadi sepanjang tahun, tidak hanya Ramadhan saja.
Pendapat lainnya menyebut tanggal-tanggal tertentu, seperti tanggal 17 Ramadhan (dan ini yang menjadi dasar kenapa peringatan Nuzul Quran diperingati setiap 17 Ramadhan), 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadhan. Bahkan ada pendapat yang menyebut tanggal-tanggal genap seperti 18, 20, 24 Ramadhan dan seterusnya.
Subhanallah… Ternyata ketika Allah –سبحانه وتعالى- ingin merahasiakan sesuatu, maka usaha apapun untuk ‘memastikannya’ hanya akan membuat sesuatu itu semakin kabur dan tidak terlacak.
Mirip dengan ini, ketika Rasulullah –صلى الله عليه وآله وسلم- menyebutkan bahwa pada hari Jumat ada satu ‘saat’ dimana doa yang dipanjatkan pada saat itu pasti dikabulkan Allah -سبحانه وتعالى-. Beberapa ulama mencoba ‘mencari tahu’ kapan saat yang mustajab itu. Alih-alih menemukan titik terang, yang terjadi justeru perbedaan pendapat yang mencapai angka 42 qaul sebagaimana diuraikan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Akhirnya ‘saat mustajab’ itupun tetap tidak terungkap. Malah menjadi semakin ‘kabur’.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, ketika Allah –عز وجل- ingin merahasiakan ‘timing’ suatu peristiwa, maka jangan menyusahkan diri untuk mencari tahu kapan peristiwa itu akan terjadi. Yang ada bukannya menemukan titik terang, melainkan kita menjadi semakin bingung, dan membingungkan orang lain.
Walaupun demikian, mayoritas ulama lebih men-tarjih pendapat yang menyatakan bahwa lailatul qadar akan tetap terjadi pada Ramadhan setiap tahun (bukan hanya sekali saat Alquran turun pertama kali saja), dan ia akan terjadi pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, terutama di malam-malam ganjil.
Ada pendapat yang sangat populer di kalangan ulama bahwa lailatul qadar terjadi pada malam 27 Ramadhan. Karena itu, biasanya di malam ini, di berbagai negara Arab, masyarakat berbondong-bondong meramaikan masjid untuk melaksanakan sholat tarawih berjamah dengan harapan bisa mendapatkan lailatul qadar.
Yang unik, ada sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas –رضي الله عنهما- . Ia memilih pendapat yang mengatakan lailatul qadar terjadi pada malam 27 Ramadhan dengan alasan yang unik. Ia menyatakan bahwa Allah –سبحانه وتعالى- menjadikan jumlah kata dalam surat al-Qadr sama dengan jumlah malam bulan Ramadhan, yaitu 30. Kata yang ke 27 dalam surat al-Qadr persis tiba pada kata: هي yang berarti: “dia-nya”. Ini menjadi isyarat bahwa lailatul qadr terjadi pada malam ke 27.
Di samping itu, kata ليلة القدر berjumlah 9 huruf. Ia diulang sebanyak tiga kali dalam surat ini. Maka, 9×3 = 27. Ini semakin menguatkan pendapat bahwa lailatul qadr terjadi pada malam 27 Ramadhan. Saya kira, kalau pendapat ini muncul dari ustadz-ustadz zaman sekarang, mungkin akan dibilang ‘cocoklogi’.
Syukurnya, Sayyid Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari, seorang ulama terkenal dari Maroko, meragukan penisbahan pendapat ini kepada Ibnu Abbas –رضي الله عنهما-.
Terlepas dari kualitas riwayat-riwayat tersebut, sesungguhnya penentuan tanggal kapan lailatul qadr bertentangan dengan hikmah dirahasiakannya hal ini oleh Rasulullah –صلى الله عليه وآله وسلم-. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabarani dari Abdullah bin Unais –رضي الله عنه- , ia berkata, “Ya Rasulullah, beritahu padaku pada malam keberapa engkau mencari lailatul qadr?” Rasullah –صلى الله عليه وآله وسلم- menjawab:
لَوْلاَ أَنْ يَتْرُكَ النَّاسُ الصَّلاَةَ إِلاَّ تِلْكَ اللَّيْلَةَ لَأَخْبَرْتُكَ
“Kalaulah tidak karena khawatir manusia akan meninggalkan shalat, kecuali pada malam itu saja, pasti akan kuberitahukan padamu.”
Kalau demikian, bagaimana kita memahami berbagai riwayat yang menyebutkan tanggal terjadinya lailatul qadr secara spesifik? Imam Thahir bin ‘Asyur –رحمه الله- punya jawaban cerdas :
إن ما ورد في ذلك من الأخبار محتمل لأن يكون أراد به تعيينها في خصوص السنة التي أخبر عنها
“Boleh jadi yang dimaksud oleh hadits atau atsar tentang ini adalah tanggal terjadinya lailatul qadr pada tahun ketika hadits atau atsar tersebut disampaikan.”
Artinya, mungkin saja lailatul qadr pada tahun itu terjadi pada malam ke-27, 25, 23 dan sebagainya, karena memang menurut mayoritas ulama, lailatul qadr selalu berganti pada setiap tahun. Jadi kalau pada Ramadhan tahun 1440 H, lailatul qadr terjadi pada malam ke-27, misalnya, maka boleh jadi pada tahun berikutnya (tahun ini) terjadi pada malam ke-25, dan seterusnya.
Maka, pesan untuk penulis dan pembaca tulisan ini –بارك الله فينا وفيكم- adalah :
1. Pada malam-malam yang tersisa ini, jangan sampai terlewatkan shalat Isya dan Subuh berjamaah, meskipun bersama keluarga di rumah.
2. Pada malam-malam yang tersisa ini, jangan sampai terlewatkan qiyam Ramadhan, baik tarawih, witir maupun tahajjud.
3. Pada malam-malam yang tersisa ini kita perbanyak membaca doa seperti yang telah diajarkan Baginda Rasulullah –صلى الله عليه وآله وسلم- kepada isterinya Sayyidah Aisyah –رضي الله عنها- .
اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عنا
Sumber : okezone.com