Lembaga wadah pemikir (think tank) Pew Research Center merilis data prediktif mengenai 10 negara muslim terbesar di dunia. Data yang diperbaharui dua tahun lalu itu menunjukkan bahwa pada 2060, Indonesia akan digeser India dari populasi muslim terbesar dunia.
Saat ini, Indonesia memang menduduki posisi pertama, namun 39 tahun lagi, Indonesia berada di bawah Nigeria, Pakistan, dan India. Jika melihat analisis Wakil Ketua MUI Buya Anwar Abbas, populasi muslim Indonesia menurun karena solidaritas umat Islam di Indonesia lebih lemah dibandingkan India.
Di sini, saya akan mempertanyakan pentingnya kuantitas muslim Indonesia, serta menakar sejumlah pertimbangan mengenai lemahnya solidaritas tersebut.
Kendati ukuran solidaritas itu masih abu-abu, namun hal ini menunjukkan kualitas keislaman muslim Indonesia yang patut dipertanyakan.
Mengenai kualitas keislaman pun, sebenarnya tidak ada ukuran yang pasti. Namun, Patrik K. Meyer, profesor tamu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sempat mengulas mengenai kualitas keislaman muslim Indonesia. Secara umum, ada dua poin utama ulasan Patrik mengenai kondisi umat Islam di Indonesia.
Pertama, Patrik menyebutnya sebagai muslim kultural. Artinya, orang Indonesia sebagian besar menganut Islam bukan karena kesadaran utuh untuk meyakini Islam, melainkan karena warisan keturunan.
Jika orang tuanya bukan muslim, menurut Patrik, bisa dipastikan anaknya juga bukan muslim. Sementara itu, karena sebagian besar penduduk Indonesia menganut Islam, maka anak-anaknya pun turut beragama Islam (baca: Islam KTP).
Kedua, kualitas keislaman muslim Indonesia juga lemah karena sebagian besar dari mereka tidak menguasai bahasa Arab. Sedangkan literatur kunci Islam semuanya berbahasa Arab. Bahkan, bacaan salat pun harus berbahasa Arab. Tidak sah melafalkan bacaan salat menggunakan terjemahannya. Bagaimana bisa menghayati Islam, jika seorang muslim melafalkan ayat-ayat tanpa ia pahami maknanya?
Jika ditarik lebih jauh lagi, kondisi ini tak lepas dari pengaruh awal penyebaran Islam di Indonesia. Dari catatan Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo (2016), di masa dakwah wali songo, populasi muslim meningkat pesat. Namun, cara dakwah dari para wali itu menekankan pada berpindahnya keyakinan masyarakat kepada Islam, kemudian barulah kesadaran beragama dibentuk.
Sebagai misal, dari cerita populer mengenai dakwah Sunan Kalijaga yang menggunakan tembang dan wayang. Sunan Kalijaga mengenalkan Islam melalui pentas seni-budaya. Lantas, tiket masuk untuk menonton pertunjukannya adalah membaca Kalimosodo atau dua kalimat syahadat.