Tidak heran, masyarakat setempat sebenarnya “tertipu” dengan cara dakwah Sunan Kalijaga. Namun, berkat kelihaiannya berbaur dan mengenalkan Islam, masyarakat yang “tanpa kesadaran” membaca dua kalimat syahadat kemudian benar-benar menganut Islam. Lagi-lagi, perlu dipertanyakan lagi kualitas keislaman masyarakat tersebut.
Saya bukannya menilai negatif cara dakwah pada wali, tentu mereka jauh lebih paham mengenai metode tersebut. Lagi pula, dalam kondisi tertentu, Islam mesti dikenalkan secara perlahan, bahkan pensyariatan ajarannya pun tidak dilakukan tergesa-gesa. Misalnya, pengharaman khamar dan judi tidak secara langsung dilarang. Prosesnya bertahap agar bisa diterima masyarakat Arab kala itu.
Akan tetapi, analisis Patrik di atas cukup masuk akal. Bagaimana mungkin Islam dihayati jika diperoleh “tanpa kesadaran utuh”? Atau hanya diterima melalui proses instan (Islam keturunan)? Atau juga, bagaimana bisa Islam dipahami, jika bahasa Arab tidak dipelajari, atau bahkan tidak dibaca terjemahannya?
Karena itulah, wajar jika beberapa tahun ke depan, populasi muslim di Indonesia berkurang. Jika kualitas keislamannya memang kuat di Indonesia, tentu iman masyarakat muslim tidak mudah goyah, apalagi berpindah.
Di masa kenabian pun, sebenarnya Rasulullah SAW sudah memprediksi mengenai populasi muslim di dunia, beliau bersabda: ” … ‘kalian [umat Islam] di masa itu banyak sekali, tetapi kalian seperti buih di lautan. Dan Allah SWT mencabut rasa takut musuh-musuh terhadap kalian, serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.’ Seseorang bertanya, ‘Apakah wahn itu?’ Beliau menjawab, ‘Cinta dunia dan takut mati’,” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, dan Abu Dawud).
Lantas, apakah jumlah atau kuantitas umat Islam itu hal penting? Dari satu sisi, ia merupakan modal populasi yang menjanjikan. Namun, kualitas keislaman mayarakatnya jauh lebih utama daripada sekadar ukuran kuantitas.
Hal ini bisa disimpulkan dari kisah fenomenal perang Badar di masa kenabian. Saat itu, jumlah pasukan muslim dari pihak Rasulullah SAW hanya 313 tentara. Pada saat bersamaan, mereka harus melawan pasukan kafir Quraisy Makkah yang berjumlah sekitar 1000 pasukan, serta dilengkapi dengan persenjataan sangkil.
Jika bukan karena kualitas keimanannya, apa lagi yang menjadikan para sahabat rela melawan pasukan musuh, padahal jumlah mereka tiga kali lipat lebih kuat. Secara logika, bisa dipastikan pasukan Islam akan kalah. Namun karena kuatnya iman kepada Allah SWT dan rasul-Nya, semangat membela Islam tidak mengendor. Buktinya, umat Islam memenangi perang Badar.
Di sini, saya mempertanyakan lagi, lantas, apakah kuantitas muslim Indonesia merupakan hal penting?
Artikel asli : islami.co