Jagat maya kembali dihebohkan persoalan simbol agama lain yang muncul di ruang publik. Kali ini simbol “salib” yang dipersoalkan oleh warganet. Entah siapa yang memulai, desain logo peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus tahun ini dipermasalahkan karena dianggap menyematkan simbol salib di dalamnya.
Ulama sekelas Aa Gym pun turut bicara lewat akun sosial media Twitter. Sikap Aa Gym terlihat sangat ragu dalam bersikap. Sepertinya dia menyematkan “kecurigaannya” lewat sentimen warganet. “.
SANGAT BISA DIMAKLUMI bila jadi PERBEDAAN PENDAPAT
Melihat spanduk resmi pemerintah untuk 17 agustus 2020 ini
Karena memang sekilas seperti ada tanda salib yang besar..Juga harus kita maklumi bila ada yang mempertanyakan..dan protes. pic.twitter.com/rO4cMxkhu2
— Abdullah Gymnastiar (@aagym) August 11, 2020
Persoalan simbol “Salib” kali ini memang tidak dimulai oleh Aa Gym. Namun melihatnya sebagai otoritas agama, kita bisa berharap dia bisa hadir pengayom, ketimbang hanya mengipasi persoalan menjadi tambah runyam. Sebab, persoalan kehadiran simbol agama di tanah air kita ini lebih banyak dibumbui “penyedap rasa” belaka, ketimbang memperkaya persfektif kita akan keragaman beragama.
Contohnya saja di kasus sekarang, kita masih bertungkus lumus di persoalan yang sama, yakni kecurigaan. Kayanya inilah syak wasangka yang seakan tak pernah bisa kita bisa mengira kapan ini akan berakhir. Tapi, kita sebenarnya tidak sendirian dalam persoalan kehadiran simbol agama di ruang publik, sebab masih banyak negara memiliki permasalahan yang sama, yakni phobia pada ancaman dari agama lain.
Berawal dari Ketidaktahuan Menjadi Bencana
Ketakutan akan simbol biasanya juga muncul dari ketidaktahuan. Sebagaimana dilansir bbc.com, Saras Dewi, dosen filsafat di Universitas Indonesia, pernah menjelaskan bahwa ketakutan terhadap simbol, seperti palu arit, adalah sebuah “ketakutan yang datang dari banyak ketidaktahuan.”
Tapi, sepertinya dosis tinggi dari sejarah panjang hubungan antar agama di Indonesia, imajinasi, mitos, inferioritas, khayalan berlebihan hingga ketakutan lebih berperan dalam persoalan simbol agama di ruang publik kita, minimal ini terjadi hingga hari ini.
Kita tidak benar-benar bisa keluar jika tidak menelisik hulu dari permasalahan ini. Sebab, jika kita masih terjebak penyelesaian seremonial belaka, maka bukan tidak mungkin kita hanya mewariskan permasalahan ini pada generasi selanjutnya. Harus ada penyelesaian yang revolusioner agar kejadian-kejadian ini tidak lagi terjadi di masa depan. Bagaimana caranya?
Ketika ketidaktahuan yang terus menerus dibiarkan berkembang biak hingga menjadi alasan banyak orang melakukan kedunguan. Maka kita semua harus disalahkan atas kejadian ini semua. Otoritas agama dan penguasa memang mendapatkan jatah ditetapkan sebagai pihak paling bersalah, namun seluruh manusia sebenarnya bersalah atas disinformasi seperti kasus salib.
Kembali ke masalah simbol salib, persoalan ini memang sulit diselesaikan namun bukan tidak mungkin. Sebab, kehadiran simbol agama di ruang publik yang dipermasalahkan, sebagaimana dijelaskan di atas, memiliki banyak dimensi di dalamnya. Setiap dimensi harus diselesaikan secara tuntas jika kita menginginkan persoalan paranoid atau ketakutan berlebihan akan simbol agama lain tidak lagi muncul.
Persoalan “ketakutan karena ketidaktahuan” dan “keterancaman” adalah krusial untuk kita selesaikan bersama. Ketidaktahuan kita atas simbol agama yang kita tuduh mungkin saja berasal dari imaji liar lewat konsumsi informasi salah yang terus menerus. Jadi, tugas kita semua adalah memutus ketidaktahuan dan konsumsi misinformasi yang massif di masyarakat.
Bisa dibayangkan, ketidakmampuan masyarakat membedakan antara salib dengan desain logo berbentuk serupa malah mempertontonkan ketidakdewasaan kita sendiri, terutama menghadapi perbedaan agama. Selain itu, kita juga diperlihatkan betapa keberagamaan kita yang merasa paranoid atau selalu terancam atas kehadiran orang lain (baca: agama lain).