“Orang Indonesia sama, selalu merasa terancam, baik secara ekonomi, budaya, apalagi agama. Maka narasi konspirasi akarnya selalu soal ancaman dari sesuatu di luar sana yang dominan, elite, rahasia, yang diyakini sedang menjalankan tujuan jahat melawan mereka,” sebut Amika Wardhana, sosiolog dari UMY.
Penjelasan Amika dikutip dari tirto.id ini menginformasikan kepada kita bahwa rasa terancam tersebut yang kemudian diterjemahkan ke dalam sebuah ketakutan akan konspirasi yang belum tentu benar adanya. Sehingga, kita harus mulai membongkar rasa terancam ini dari cara berpikir umat beragama kita, agar tidak ada lagi kasus seperti ini terjadi kembali.
“Bumbu Penyedap” Beri Tambahan Rasa
Ada banyak dimensi yang mengelilingi persoalan kehadiran simbol agama di ruang publik. Sepertinya ia juga hadir sebagai respon dari persoalan politik lokal hingga internasional yang terkait agama.
Masih ingat konflik kekerasan di India, salah satu penyebabnya adalah bayangan akan kelompok muslim yang suka akan kekerasan. Informasi tersebut diterima kelompok Hindu diantaranya lewat media sosial. Padahal, kabar tersebut belum tentu kebenarannya namun mampu membangun stigma negatif dan menggerakkan massa.
Kembali ke persoalan desain logo, tuduhan terdapat simbol salib adalah perwujudan dari ketakutan dan rasa terancam atas intimidasi, berupa pemurtadan halus, sebenarnya hanyalah imaji atau paranoid belaka. Buktinya, layangan atau tiang jemuran tentu tidak dipermasalahkan oleh kelompok yang mempermasalahkan salib di desain ucapan selamat 17-an.
Sebagaimana dijelaskan di atas, kehadiran ketakutan akan simbol agama lebih dipengaruhi oleh lewat sebuah hubungan rumit antara imaji pribadi atau masyarakat, persoalan politik dan sejarah panjang relasi antar agama. Kehadiran simbol agama lain juga turut disertai aneka narasi konspirasi, seperti auto-kafir atau ada upaya pemurtadan.
Narasi tersebut kemudian mencoba mendompleng asumsi bahwa hampir seluruh agama memiliki simbol tertentu sebagai penanda kelompok. Sehingga, jika kita berinteraksi dengan simbol-simbol tersebut maka kita menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Selain itu, biasanya penafsiran kita atas hadis “tasyabbuh” biasanya turut dijadikan bahan bakar atas ketidaksetujuan kita atas kehadiran simbol agama lain di ruang publik. Jadi bukan saja soal interaksi dengan simbol, imajinasi dan pengetahuan kita berperan dalam membentuk sikap antipati kita ini.
Jadi, terdapat banyak “bumbu penyedap” dalam persoalan penafsiran simbol ini. Ancaman pemurtadan hanya alasan yang muncul dipermukaan, padahal di dalamnya terselip ada sekian permasalah, seperti penafsiran hadis yang serampangan, relasi politik dan agama, yang jika dibiarkan akan terus menganggu kehidupan beragama karena masih ada rasa saling curiga dan terancam.
Jika kita gagal dalam menyelesaikan persoalan ini maka bukan tidak mungkin aksi kekerasan bisa terjadi tanpa bisa dideteksi pokok masalahnya. Oleh sebab itu, kita harus mulai berusaha secara serius menyelesaikan persoalan tersebut secara tuntas.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin
Artikel Asli : islami.co