Sejak Kapan Muncul Gelar ‘Haji’ di Indonesia? Ini Sejarahnya

Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon.

Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang.

Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi. Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.

Dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa, termasuk diantaranya putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki.

Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1671.

Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda, pemberian gelar “Haji” sengaja dilakukan oleh pihak kolonial sebagai identifikasi bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah haji dan tentunya mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan bangsa-bangsa luar.

Interaksi tersebut kerapkali menimbulkan semangat bagi para haji untuk melakukan pemberontakan baik secara fisik seperti yang dilakukan oleh Imam Bonjol maupun Pangeran Diponegoro, maupun secara pergerakan seperti Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.

Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.

Di masa sekarang ini, panggilan haji lebih bersifat sebagai sebuah penghormatan karena yang bersangkutan dianggap telah melaksanakan rukun Islam secara sempurna.

Tentu saja hal ini tidaklah bertentangan dengan syariat, karena panggilan semacam itu menunjukkan sikap hormat dan penghargaan kita terhadap saudara seiman kita.

Anjuran untuk saling menghargai seperti itu sangat jelas sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 444), sebagai berikut:

آداب الإخوان: الاستبشار بهم عند اللقاء، والابتداء بالسلام، والمؤانسة والتوسعة عند الجلوس، والتشييع عند القيام، والإنصات عند الكلام، وتكره المجادلة في المقال، وحسن القول للحكايات، وترك الجواب عند انقضاء الخطاب، والنداء بأحب الأسماء

Artinya:
Adab berteman, yakni: Menunjukkan rasa gembira ketika bertemu, mendahului beruluk salam, bersikap ramah dan lapang dada ketika duduk bersama, turut melepas saat teman berdiri, memperhatikan saat teman berbicara dan tidak mendebat ketika sedang berbicara, menceritakan hal-hal yang baik, tidak memotong pembicaraan dan memanggil dengan nama yang disenangi.”

Demikian, semoga bermanfaat.

Sumber: islami.co

Responses (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *