Sidratul Muntaha dan Imaji Manusia Tentang Surga

  • Share

Peristiwa keberangkatan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjid Al Aqsa yang disebut dengan Isra, serta naiknya Sang Nabi ke langit tujuh yang disebut sebagai Miraj, yang keduanya terjadi hanya dalam satu malam, kerapkali dilihat dalam batasan transendental yang sakral dan mistis. Padahal, setiap manik detail peristiwa dalam perjalanan Isra Miraj sang Nabi itu, bagai samudera interpretatif yang terbuka untuk ditafsirkan secara beragam, termasuk kata sidratul muntaha.

Selain perspektif lintas agama yang muncul dari kisah pemberhentian sang Nabi di tanah Palestina, pertemuan dengan nabi-nabi lain di tiap lapis langit, perintah untuk menjalankan shalat, perjalanan Nabi ke Sidratul Muntaha (sidratulmuntaha dalam ejaan bahasa Indonesia) juga menyimpan muara hikmah dan renungan penting lainnya bagi kita di zaman ini.

Telah banyak disebutkan bahwa usai berjumpa dan berdialog dengan nabi-nabi di lain dari lapis langit pertama hingga keenam, Sang Nabi lantas dibawa ke Baitul Makmur yang disebut-sebut sebagai tempat bersujud para malaikat. Usai itu, Nabi lalu diberangkatkan ke sidratul muntaha.

Secara harfiah, sidratul muntaha bermakna pohon bidara yang berada di perbatasan akhir. Ibnu Hajar Asqalani menggambarkan bahwa batang, cabang dan ranting pohon ini terdapat di langit ketujuh, sementara akar dan pangkalnya terdapat di langit keenam.

Penyebutan pohon sidr atau bidara (widara dalam Sunda dan Jawa) dalam perjalanan sang Nabi yang sungguh dahsyat dan mistis ini menarik jika direnungkan lebih jauh.

Bagaimana mungkin, perjalanan Kanjeng Nabi ke lapis-lapis langit di angkasa itu, yang kita kira hanya berbalut awan, planet-planet dan berbagai tubuh kosmologis, atau bahkan cahaya, justru berujung pada serindang pohon bidara? Mengapa usai perjalanan spiritual Sang Nabi yang demikian sakral, dengan berkendara buraq yang sungguh misterius itu, akhirnya berpangkal pada sebuah pohon yang sudah sejak mula tumbuh di bumi?

Sementara dalam kacamata botani, pohon bidara biasanya tumbuh di tanah yang kering. Seolah hendak menyampaikan bahwa di tanah yang kelihatannya tandus, pohon pun bisa tumbuh sebagai tempat berteduh. Zidni Nafi’ menuliskan bahwa Isra Miraj merupakan bagian dari cara Allah untuk memberikan rekreasi kepada Rasulullah yang kala itu tengah dirundung kesedihan lantaran perjuangan dakwahnya di tanah Mekah terus menerus mendapat penolakan.

Pohon bidara di sidratul muntaha adalah adalah metafora bahwa pengharapan harus tetap disiram, dijaga, dirawat sedemikian rupa sebab bahkan di tengah kegelisahan dan keputusasaan, harapan itu akan mewujud sebagai daun-daun keteduhan.

Imaji tentang Surga

Hal menarik lainnya, Al-Quran menyebut sidratul muntaha sebagai sebuah tempat yang berdampingan dengan surga.

Dalam surah Annajm ayat 14-16 disebutkan:

عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (١٤) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (١٥) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (١٦)

Di sidratul muntaha, di dekatnya ada surga yang menjadi tempat tinggal, Muhammad melihat Jibril ketika sidratulmuntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *