Dalam kitab Tafsir Jalalayn disebutkan bahwa sesuatu yang meliputi sidratul muntaha itu adalah burung-burung dan lainnya. Meskipun dalam redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsabit dan Anas r.a. mengungkap bahwa apa yang meliputi sidratulmuntaha itu tak bisa digambarkan karena saking indahnya.
Imaji manusia tentang surga kerapkali menembus batas-batas semesta di luar kehidupan yang tengah dijalaninya. Kerapkali kita mengimani bahwa surga hanya boleh dan bisa kita reguk setelah kita melampaui yaumul hisab, masa ketika akhirnya setiap amal ibadah kita ditimbang dan mendapatkan balasan.
Kita kerap membayang-bayangkan, betapa enaknya tinggal di surga itu nanti. Bayangan keindahan surga acapkali melesat ke awang-awang, lantas membuat kita terlena bahwa ada surga lain yang mesti kita jaga di bumi. Kisah sidratul muntaha yang digambarkan sebagai pohon bidara adalah pesan penting bahwa ketertundukan kita kepada Tuhan yang ada di langit justru mesti dipantulkan dalam wujud penjagaan kepada apa yang di bumi.
Maka, betapa meruginya kita yang terus menerus mendamba surga dengan seluruh sujud sembahyang kita, tapi lalai merawat sidratul muntaha-sidratul muntaha kecil yang telah tumbuh di tanah tempat kita berpijak, bahkan dengan ketamakan dan kuasa kita yang sesungguhnya kecil dan kerdil ini, kita justru membabi buta menebangi dan menggundulinya.
Atau dalam laku lalai kita yang lain, kita juga kerap mengotori sungai dan alam, padahal surga juga digambarkan sebagai sungai-sungai yang mengalir indah. Hadis nabi yang diriwayatkan Anas bin Malik menerangkan,
“Suatu ketika, saya berjalan-jalan di surga. Tiba-tiba saya melihat sebuah sungai yang di kedua tepinya berderet kemah-kemah dari mutiara. Saya lalu bertanya, ‘Sungai apa ini, wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Ini adalah Al Kautsar yang dianugerahkan Allah SWT kepadamu. Tanahnya –atau aromanya– wangi laksana katsturi”. (H.R Bukhari, hadist nomor 6581)
Maka, menjadi aneh, manusia yang berambisi dan kerap berebutan mendapat tempat terbaik di surga, justru membikin sungai-sungai, bahkan laut, tercemar dengan ulahnya.
Jangan-jangan, sembari berimaji dan terlampau ngarep surga, kita ini justru sebetulnya para penghancur surga yang sudah sejak mula berlimpah-limpah terbentang di bumi yang kita tempati. Kini, limpahan surga yang ada di bumi sudah perlahan-lahan rusak dan lenyap, mungkinkah makhluk-makhluk kerdil yang menghancurkannya ini diampuni dan tetap diberi tempat di surga nanti?
Wallahua’lam.
Sumber : islami.co