Bambu runcing merupakan senjata masyarakat Indonesia ketika melawan penjajah. Jika dipikir secara logika, bambu runcing tentu tidak bisa melawan bedil kolonial. Tetapi dengan kekuatan wirid dan doa ulama yang disepuhkan pada bambu runcing, para pejuang yang memegangnya mendapatkan kesaktian dan kekuatan lebih ketika berjuang.
Ulama pejuang yang berjasa dalam memberikan kekuatan pada bambu runcing ialah KH Subchi dari Parakan, Magelang, Jawa Tengah. Kiai Subchi menyepuh bambu runcing para pejuang dan laskar santri dari berbagai daerah, baik yang berasal dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Meski sudah berumur lanjut (umur 90 tahun), gerakan Kiai Subchi disebut KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 349) masih sigap dan cekatan. Badannya tegap, besar, dan tinggi. Pendengaran dan penglihatannya masih awas (jelas), bahkan gigi-giginya masih utuh dan kukuh.
Mbah Subchi, begitulah panggilang akrab Kiai Subchi, memang orang tertua di Parakan. Hampir semua orang memanggilnya Mbah. Orangnya ramah, banyak tawanya, menyenangkan dalam pergaulan. Kalangan ulama, pemuda, pegawai, pedagang, bahkan kalangan Cina di Parakan merasa dekat dengan Mbah Subchi.
Bukan saja ramah dalam bergaul, melainkan statusnya sebagai sesepuh tidak lantas menjadikan Mbah Subchi suka menggurui. Jika dimintai nasihat, Mbah Subchi memberikan nasihat tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti. Kadang bercampur tawa, karena tak sengaja disampaikan dengan jenaka. Meski begitu, Mbah Sucbhi juga merupakan sosok yang suka mendengar atau pendengar yang baik. Bahkan tak segan mengajukan pertanyaan tentang apa-apa yang baginya masih samar.
Dalam momen menyepuh bambu runcing, ratusan bahkan ribuan tentara sabil, baik Hizbullah dan Sabilillah juga Tentara Keamanan Rakyat (TKR) selalu membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu runcingnya dengan doa. Bahkan untuk keperluan menyemayamkan kekuatan spiritual ini, Jenderal Soedirman dan anak buahnya juga berkunjung ke rumah kiai yang dijuluki sebagai Kiai Bambu Runcing tersebut.
Doa yang diucapkan oleh Kiai Subchi untuk menyepuh ribuan bambu runcing adalah sebagai berikut (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 132):
Bismillahi
Ya hafidhu, Allahu Akbar
Dengan nama Allah
Ya Tuhan Maha Pelindung
Allah Maha Besar
Kisah penyepuhan bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi ini dijelaskan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren. Dalam salah satu buku memoar sejarah tersebut, dijelaskan bahwa hampir bersamaan ketika terjadi perlawanan dahsyat dari laskar santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945, rakyat Semarang mengadakan perlawanan yang sama ketika tentara sekutu juga mendarat di Ibukota Jawa Tengah itu.
Dari peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan sekutu (Inggris). Kabar pecahnya peperangan di sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Dengan niat jihad fi sabilillah untuk memperoleh kemerdekaan dan menghentikan ketidakperikemanusiaan penjajah, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama pasukan lain dari seluruh daerah Kedu.
Setelah berhasil bergabung dengan ribuan tentara lain, mereka berangkat ke medan pertempuran di Surabaya, Semarang, dan Ambarawa. Namun sebelum berangkat, mereka terlebih dahulu mampir ke Kawedanan Parakan guna mengisi dan memperkuat diri oleh berbagai macam ilmu kekebalan dari seorang ulama tersohor di daerah Parakan, Kiai Haji Subchi.
Didorong semangat jihad yang digelorakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari melalui Resolusi Jihad serta kesadaran agar terlepas dari belenggu penjajahan untuk masa depan anak-anak dan cucu-cucu di Indonesia, Kiai Subchi memberikan bekal berupa doa kepada barisan Hizbullah dan Sabilillah. Tentara Allah itu berbaris dengan bambu runcingnya dan masing-masing mereka ‘diberkahi’ oleh bunyi doa Kiai Subchi yang telah dijelaskan di awal.
Wejangan (nasihat) Kiai Subchi yang hingga kini masih terlintas di benak bekas tentara Hizbullah dan Sabilillah maupun TKR dan laskar-laskar lainnya ialah:
“Luruskan niat untuk mempertahankan agama, bangsa, dan tanah air. Ingat selalu kepada Allah SWT. Jangan menyeleweng dari tujuan, apalagi berbuat maksiat. Dan kuatkan persatuan kita. Jika hendak kembali pulang, beramai-ramailah membaca syahadat.” (Choirul Anam, 1985)
Jiwa nasionalisme Kiai Subchi tertanam sebagai komitmen bersama terhadap agama dan bangsa. Komitmen kebangsaan ini juga dilakukan oleh para kiai di berbagai daerah yang mempunyai tanggung jawab sosial membebaskan bangsa Indonesia dari ketidakperikemanusiaan penjajah.
Komitmen ini terus membuncah sehingga ketika proklamasi kemerdekaan RI, Kiai Subchi bersama para ulama dan kaum muda Temanggung membentuk Laskar Barisan Muslimin Temanggung (BMT) pada 27 November 1945. Tujuan utama BMT ini adalah untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketika NU diresmikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, Kiai Subchi dan para ulama Temanggung lainnya memprakarsai berdirinya PCNU Temanggung dan beliau menjabat sebagai Rais Syuriyah pertama. Sebagaimana kesaksian KH Saifuddin Zuhri (2013), Kiai Subchi sangat menaruh perhatian besar terhadap kaderisasi anak muda NU melalui Gerakan Pemuda Ansor.
Artikel asli : nu.or.id