KH Hasyim Padangan adalah guru yang cukup mempengaruhi kealiman Syekh Ahmad Basyir. Beliau berguru pada Mbah Hasyim Padangan cukup lama. Bahkan, nama Mbah Hasyim Padangan selalu beliau sebut saat sedang bercerita atau mengaji, sebagai guru yang cukup dikagumi.
Pada 1901, saat Ahmad Basyir berusia 30 tahun, beliau melaksanakan ibadah haji dan sempat belajar di Makkah. Sepasca berhaji, Ahmad Basyir juga pernah beristifadhah dan bertabaruk ke Bangkalan, yakni pada KH Kholil Bangkalan, untuk mematangkan dan memperdalam keilmuan.
Sepulang berhaji, Ahmad Basyir mulai mengamalkan ilmu untuk mengajar masyarakat setempat. Kelak, tempat ia mengajar itu, menjadi sebuah pondok pesantren. Sementara namanya diabadikan menjadi nama pondok pesantren Al Basyiriyah Petak Bojonegoro yang berlokasi di Desa Beged, Kecamatan Gayam.
KH Atho’illah Maemun, pengasuh ponpes Al Basyiriyah Petak yang juga penerus KH Ahmad Basyir bercerita, setelah membuka tempat mengaji, Mbah Basyir diminta pemerintah kala itu untuk menjadi penghulu agama. “Ini alasan beliau dijuluki Mbah Penghulu Bojonegoro”. Ucap Kiai Atho’.
Sosok Mbah Basyir yang tak terlalu dikenal, kata Kiai Atho’, memang jadi semacam ciri khas ulama jaman dulu yang lebih bersikap khumul (bersembunyi). Terutama ulama-ulama yang berhubungan dengan Tlatah Padangan. Bahkan, peninggalan beliau berupa karya tulis juga sedikit yang masih bisa ditemui.
KH Ismail Sulaiman, adik dari KH Atho’illah menambahkan, satu-satunya ulama yang masih bisa bercerita banyak tentang Mbah Ahmad Basyir adalah Habib Ahmad Al Athos Sugihwaras Bojonegoro. Sebab, Habib Ahmad menyaksikan saat Mbah Basyir masih aktif berdakwah di Bojonegoro. Jika mengenang Mbah Basyir, Habib Ahmad selalu menyebut nama Mbah Penghulu.
“Habib Ahmad pernah cerita pada saya kalau Mbah Basyir memiliki karya tulis berupa Kitab Kutbah, itu yang tahu Habib Ahmad”. Kata Kiai Ismail.
Kiprah dan Perjuangan
Setelah mengajar di rumah dan mulai dikenal sebagai kiai, Mbah Basyir diminta pemerintah saat itu, untuk menjadi Penghulu Agama Islam di Kadipaten Bojonegoro. Ini terjadi pada periode pemerintahan Adipati Reksokusumo, yang memerintah Bojonegoro pada periode 1890-1916.
Selain menjadi sosok mufti yang menentukan dan mengurus hukum-hukum agama, pada dekade pertama abad ke-20 (periode 1900-1910 masehi), Mbah Basyir juga dipasrahi membina lembaga pendidikan buatan pemerintah bernama Madrasatul Ulum.
Lembaga Madrasatul Ulum adalah proyek pemerintah di bidang pendidikan Islam yang didirikan pada zaman Adipati Reksokusumo (Bupati Bojonegoro periode 1890-1916). Madrasah itu berlokasi di lingkungan Masjid Besar Darussalam Bojonegoro.
Dalam tesis berjudul Masjid Agung Darussalam Bojonegoro karya mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya, Dwi Sri Wijayanti, diceritakan, masjid tersebut didirikan pada 1825 oleh Laskar Diponegoro bernama Pangrehing Projo (Patih Pahal).
Namun, hingga 75 tahun pendiriannya, yakni tahun 1900, belum banyak kegiatan pendidikan. Karena itu, pada awal 1900, pemerintah mulai menggalakkan program pendidikan Islam di lingkungan masjid. Salah satunya mendirikan Madrasatul Ulum.
Bahkan pada tahun 1925, di era kepemimpinan bupati berikutnya, yakni Adipati Kusumo Adinegoro atau Raden Sumantri (bupati periode 1916-1936), Masjid Darussalam kian dikembangkan dari bermacam sisinya. Mulai kegiatan pendidikan hingga pelayanan Kantor Urusan Agama (KUA).
Di Madrasatul Ulum inilah, Syekh Ahmad Basyir (Mbah Penghulu Bojonegoro) menjadi pengajar dan guru dari KH Abu Dzarrin, KH Sholeh Talun, hingga KH Zuber Umar. Tiga santri yang kelak jadi tokoh besar ulama waliyyun minauliyaillah di Kota Bojonegoro dan Kota Salatiga Jawa Tengah.
Ahmad Wahyu Rizkiawan, Khadim di Pondok Pesantren Ar-Ridwan Al Maliky Bojonegoro dan penulis buku “Kronologi Lahirnya NU Bojonegoro”
Artikel asli : nu.or.id