Tentang Hadits ‘Perempuan Kurang Akal dan Agamanya’

  • Share

Seorang saksi atau syahid dalam urusan-urusan muamalah atau jinayat secara umum perlu memiliki syarat berikut: Islam, adil, baligh, berakal, dapat berargumen, serta memiliki ingatan yang baik. Namun soal persaksian perempuan, meski ayat Al-Qur’an secara literal di atas menyebut secara khusus, rupanya ulama meninjaunya secara beragam.

Dalam Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, pendapat jumhur ulama adalah persaksian perempuan dalam masalah hudud dan jinayat tidak dapat diterima, lain halnya dengan urusan muamalah.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa persaksian kaum perempuan dapat diterima dalam urusan muamalah dan yang berkaitan dengan kekhususan fisik atau masalah mereka di luar masalah talak, rujuk, nikah dan pemerdekaan budak. Persaksian seorang perempuan pun dapat diterima dalam hal-hal yang perempuan lebih tahu dan memahami seperti melahirkan, menstruasi, menyusui, ataupun kecacatan fisik perempuan.

Argumentasi mengapa perempuan “kurang” dalam urusan persaksian maupun keagamaan, dikatakan karena sebab biologis maupun psikologis yang ada pada perempuan. Untuk alasan biologis misalnya, ulama menilai perempuan akan terganggu dengan perubahan situasi dan kondisi fisik seperti nifas, haid, dan masalah lainnya yang menyertai kehamilan.

Selain itu mereka menilai bahwa kodrat perempuan adalah melahirkan, menyusui, juga mengasuh anak di rumah. Hal-hal tersebut yang membuat mereka kurang memahami kondisi di luar rumah mereka, sehingga akan mempengaruhi persaksian-persaksian mereka khususnya dalam hal muamalah. Demikian kurang lebih keterangan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari.

Sedangkan dalam aspek psikologis, perempuan dinilai lebih dominan dari sisi emosional maupun afeksinya. Dominannya faktor psikologis ini menjadikan para ulama menyatakan bahwa perempuan ini kerap kurang jernih dalam menimbang urusan-urusan publik, apalagi dalam konteks politik dan ekonomi – yang juga menjadi alasan mengapa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.

Fakta-fakta terkini menunjukkan bahwa argumentasi ulama seputar ‘illat hukum persaksian perempuan tersebut bisa didiskusikan kembali. Urusan domestik dan pengasuhan anak adalah beban orang tua, yang tidak hanya dibebankan pada perempuan kecuali tentu dalam hal menyusui. Selain itu, afeksi dan sikap emosional juga dapat ditemukan pada pria, tidak hanya pada wanita. Kepemimpinan perempuan di beragam negara juga cukup berhasil, seperti di era pandemi ini telah diwujudkan di Jerman atau Selandia Baru.

Ala kulli hal, kiranya keterangan Nabi di atas cukup jelas: “kurangnya akal perempuan” adalah hanya dalam persaksian, itu pun masih dalam ranah yang ijtihadi dan tidak ada putusan final. Pemahaman terhadap teks hadits tentang kekurangan akal yang dilakukan oleh ulama kebanyakan merujuk kepada situasi lingkungan yang mereka amati.

Di samping itu, perkara “kurangnya agama” akibat udzur ibadah bagi perempuan karena sebab haid, nifas atau melahirkan, adalah semata fitrah biologis. Hal itu tidak menjadikan perempuan manusia kelas dua, apalagi menjadi alat diskriminasi perempuan dari ruang publik dan keagamaan. Kalaupun hal itu dianggap “kekurangan perempuan”, alangkah banyaknya kelebihan bagi perempuan di luar halangan tersebut yang bisa dicapai sebagaimana juga dilakukan laki-laki.

Muhammad Iqbal Syauqi, Alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences; dokter alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Artikel asli : nu.or.id

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *