Abu Musa Al-Asyari: Diberi Allah Seruling Keluarga Daud

  • Share

TATKALA Amirul Mu’minin Umar bin Khattab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur, dikumpulkannyalah penduduk lain berpidato di hadapan mereka, katanya:

“Sesungguhnya Amirul Mu’minin Umar telah mengirimku kepada kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada kalian kitab Tuhan kalian dan Sunnah Nabi kalian, serta membersihkan jalan hidup kalian… !”

Masyarakat heran dan bertanya-tanya. Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang agama, yang memang menjadi kewajiban gubernur dan panglima. Tetapi bahwa tugas gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka, hal ini amat mengherankan dan menjadi suatu tanda tanya.

la adalah Abdullah bin Qeis dengan gelar Abu Musa al-Asy’ari. la meninggalkan negeri dan kampung halamannya Yaman menuju Makkah, segera setelah mendengar munculnya seorang Rasul di sana yang menyerukan tauhid, dan menyeru beribadah kepada Allah berdasarkan penalaran dan pengertian, serta menyuruh berakhlak mulia.

Di Makkah ia menghabiskan waktunya untuk duduk di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam menerima petunjuk dan keimanan daripadanya. Lalu pulanglah ia ke negerinya membawa kalimat Allah, baru kembali lagi kepada Rasul SAW tidak lama setelah selesainya pembebasan Khaibar.

Kebetulan kedatangannya ini bersamaan dengan tibanya Ja’far bin Abi Thalib bersama rombongannya dari Habsyi, hingga semua mereka mendapat bagian saham dari hasil pertempuran Khaibar.

Kali ini, Abu Musa tidaklah datang seorang diri, tetapi membawa lebih dari 50 orang laki-laki penduduk Yaman yang telah diajarinya tentang Agama Islam, serta 2 orang saudara kandungnya yang bernama Abu Ruhum dan Abu Burdah.

Rombongan ini, bahkan seluruh kaum mereka dinamakan Rasulullah golongan Asy’ari, serta dilukiskannya bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya di antara sesamanya. Dan sering mereka diambilnya sebagai tamsil perbandingan bagi para shahabatnya, sabda beliau: “Orang-orang Asy’ari ini bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka bagi rata. Maka mereka termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka.”

Mulai saat itu, Abu Musa pun menempati kedudukannya yang tinggi dan tetap di kalangan Kaum Muslimin dan Mu’minin yang ditakdirkan beroleh nasib mujur menjadi sahabat Rasulullah dan muridnya, dan yang menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia.

Abu Musa merupakan gabungan yang istimewa dari sifat-sifat utama. la adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh bila berada di medan perang. Tetapi ia juga seorang pahlawan perdamaian, peramah dan tenang. Keramahan dan ketenangannya mencapai batas maksimal. Seorang ahli hukum yang cerdas dan berpikiran sehat, yang mempu mengerahkan perhatian kepada kunci dan pokok persoalan, serta mencapai hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, sampai ada yang mengatakan: “Qadli atau hakim ummat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin Tsabit .”

Di samping itu ia berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah, pasti akan tertipu sendiri, tak ubahnya seperti senjata makan tuan.

Abu Musa sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya dan besar perhatiannya terhadap sesama manusia. Dan andainya kita ingin memilih suatu semboyan dari kenyataan hidupnya, maka semboyan itu akan berbunyi: “Yang penting ialah ikhlas, kemudian biarlah terjadi apa yang akan terjadi.”

Dalam arena perjuangan al-Sy’ari memikul tanggung jawab dengan penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah SAW berkata mengenai dirinya: “Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa”

Dan sebagai pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya sebagai berikut: “Kami pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah, hingga sepatu kami pecah berlobang-lobang, tidak ketinggalan sepatuku, bahkan kuku jariku habis terkelupas, sampai-sampai kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain.”

Keramahan, kedamaian dan ketenangannya, jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan. Karena dalam suasana seperti ini, ia akan meninjau sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan akan menyelesaikannya dengan tekad yang tak kenal menyerah.

Pernah terjadi ketika Kaum Muslimin membebaskan negeri Persi, Al-Asy’ari dengan tentaranya menduduki kota Isfahan.

Penduduknya minta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi dalam perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu untuk mempersiapkan diri dan akan memukul Kaum Muslimin secara curang.

Hanya kearifan Abu Musa yang tak pernah lenyap di saat-saat yang diperlukan, mencium kebusukan niat yang mereka sembunyikan. Maka tatkala mereka bermaksud hendak melancarkan pukulan mereka itu, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu siap untuk melayani dan menghadapi mereka. Terjadiiah pertempuran, dan belum lagi sampai tengah hari, Abu Musa telah beroleh kemenangan yang gemilang.

Dalam medan tempur melawan imperium Persi, Abu Musa al-Asy’ari mempunyai saham dan jasa besar. Bahkan dalam pertempuran di Tustar, yang dijadikan oleh Hurmuzan sebagai benteng pertahanan terakhir dan tempat ia bersama tentaranya mengundurkan diri, Abu Musa menjadi pahlawan dan bintang lapangan.

Pada saat itu Amirul Mu’minin Umar ibnul Khatthab mengirimkan tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh Ammar bin Yasir, Barra’ bin Malik, Anas bin Malik, Majzaah al-Bakri dan Salamah bin Raja’.

Dan kedua tentara itu pun, yakni tentara Islam di bawah pimpinan Abu Musa, dan tentara Persi di bawah pimpinan Hurmuzan, bertemulah dalam suatu pertempuran dahsyat.

Tentara Persi menarik diri ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung oleh Kaum Muslimin berhari-hari lamanya, hingga akhirnya Abu Musa mempergunakan akal muslihatnya.

Dikirimnya beberapa orang menyamar sebagai pedagang Persia membawa 200 ekor kuda disertai beberapa prajurit perintis menyamar sebagai pengembala.

Pintu gerbang kota pun dibuka untuk mempersilakan para pedagang masuk. Secepat pintu benteng itu dibuka, prajurit-prajurit pun berloncatan menerkam para penjaga dan pertempuran kecil pun terjadi.

Abu Musa beserta pasukannya tidak membuang waktu lagi menyerbu memasuki kota, pertempuran dahsyat terjadi, tapi tak berapa lama seluruh kota diduduki dan panglima beserta seluruh pasukannya menyerah kalah, Panglima musuh beserta para komandan pasukan oleh Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka pada Amirul Mu’minin.

Tetapi baru saja prajurit yang kaya dengan pengalaman dan dahsyat ini meninggalkan medan, ia pun telah beralih rupa menjadi seorang hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan amat jinak bagaikan burung merpati.

Ia membaca al-Quran dengan suara yang menggetarkan hati para pendengarnya. Mengenai ini Rasulullah pernah bersabda, “Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud.”

Dan setiap Umar radhiallahu anhu melihatnya, dipanggiinya dan disuruhnya untuk membacakan Kitabullah: “Bangkitlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa.”

Begitu pula dalam peperangan, ia tidak ikut serta, kecuali jika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang Agama dan bermaksud hendak memadamkan nur atau cahaya Ilahi. Adapun peperangan antara sesama Muslim, maka ia menyingkirkan diri dan tak hendak terlibat di dalamnya.

Pendiriannya ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah, dan pada peperangan yang apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim.

Artikel asli : sindonews.com

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *