Cerita Sunan Bonang yang Mengubah Aliran Sungai Brantas saat Berdakwah

KONONĀ Sunan Bonang berdakwah agama Islam juga dengan memanfaatkan kesaktiannya. Kesaktian Sunan Bonang ini sudah terkenal dan menjadi senjata utama menghadapi lawan-lawannya.

Dikisahkan dalam buku “Sunan Bonang Wali Keramat : Karomah, Kesaktian, dan Ajaran – Ajaran Hidup Sang Waliullah karya Asti Musman”, suatu ketika Sunan Bonang hendak berdakwah agama Islam di pedalaman Kediri.

Wilayah Kediri ini begitu sulit ditaklukkan lantaran pengaruh ajaran Buddha dan hindu yang begitu kuat. Alhasil Sunan Bonang mencoba menyebarkan agama Islam dengan cara yang agak ekstrem.

Sulitnya berdakwah agama Islam dan kerap mendapat tentangan dari rakyat Kediri menjadikan Sunan Bonang mengubah aliran Sungai Brantas. Perubahan aliran Sungai Brantas ini lantaran banyak masyarakat di Kediri yang enggan menerima dakwah islam.

Hasilnya kesaktian dan karomah Sunan Bonang membuat aliran Sungai Brantas ini bisa dikendalikan oleh putra Sunan Ampel ini. Konon Sunan Bonang menjadikan beberapa daerah di Kediri kekurangan air. Tapi sebagian wilayah lainnya justru mengalami banjir, sehingga pertanian masyarakat gagal panen.

Dikepung Ribuan Jin

Saat itu, konon Sunan Bonang mendapat perlawanan dari masyarakat, baik berupa perdebatan maupun pertarungan fisik. Perlawanan ini digerakkan oleh beberapa tokoh yang merupakan bagian dari Kerajaan Kediri.

Di antara lawan Sunan Bonang di Kediri adalah Ki Buto Locaya dan Nyai Plencing, yang merupakan tokoh-tokoh penganut ajaran Bhairawa – Bhairawi di daerah Kediri.

Nyai Plencing merupakan seorang Bhairawi penerus ajaran ilmu Hitam Calon Arang. Adapun Buto Locaya adalah salah satu dari dua abdi dalem Prabu Jayabaya. Nama aslinya adalah Kyai Daha. Raja Jayabaya memiliki dua abdi yaitu Kyai Daha dan Kyai Daka.

Saat Kyai Daha diangkat sebagai patih, namanya berganti menjadi Buta Locaya, sementara Kyai Daka dijadikan senopati perang, dengan nama Tunggul Wulung. Buto Locaya sendiri berasal dari kata Buta atau bodoh, Lo artinya kamu, dan Caya artinya dapat dipercaya. Nama itu berawal ketika Raja Jayabaya telah moksa.

Saat Raja Jayabaya moksa kedua abdinya juga ikut moksa. Buta Locaya pun ditugaskan untuk menjaga Selabale atau Gua Selomangleng saat ini. Sedangkan Tunggul Wulung diperintahkan untuk menjaga kawah Gunung Kelud, agar letusannya tidak banyak merusak desa sekitar dan memakan banyak korban jiwa.

Pada Serat Darmogandul dikisahkan pertemuan Sunan Bonang dengan Buto Locaya yang berakhir dengan pertengkaran mulut di antaranya keduanya. Singkat cerita Sunan Bonang akhirnya bertempur melawan Buto Locaya.

Buto Locaya pun mengerahkan pasukan baik yang tampak dan tak tampak. Ia memanggil anak – anaknya serta para jin peri parayangan, untuk diajak melawan Sunan Bonang. Para makhluk halus itu bersiap – siap untuk perang, serta berjalan secepat angin, tidak berapa lama para lelembut tiba di utara Desa Kukum, di sana Buto Locaya berkah menjadi wujud manusia bernama Kyai Sumbre.

Sementara para lelembut yang terlihat beribu – ribu tidak terlihat, Kyai Sumbre berdiri di tengah jalan di bawah pohon sambi menghadang perjalanan Sunan Bonang dari utara. Konon Sunan Bonang pun sudah mengetahui bahwa yang berdiri di pohon sambi itu rajanya dedemit alias setan, yang bersiap mengganggu.

Namun konon berkat karomah Sunan Bonang, para makhluk halus ini yang berjumlah ribuan ini berhasil disingkirkan jauh – jauh. Para makhluk halus ini tidak tahan dengan perbawa Sunan Bonang. Namun juga Sunan Bonang konon tidak betah berdekatan dengan Buto Locaya yang telah menjelma menjadi Kyai Sumbre, karena seperti berdekatan dengan bara.

Artikel asli : okezone.com

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *