Belum lama ini media masa di hebohkan dengan berita sepasang pengantin dengan mahar sepasang sandal jepit dan segelas air minum. Hal ini sontak menuai opini publik.
Ada yang memberikan cibiran menganggap hanya mencari sensasi, namun ada juga yang memberikan dukungan. Berita mengenai pemberian maskawin yang sederhana ini mungkin tak sekali menjadi viral.
Namun kerap kali menjadi bahan perbicangan publik. Sebenernya apakah mahar sandal jepit dan segelas air minum diperbolehkan menurut hukum Islam? Mahar Sandal Jepit Mahar secara etimologi artinya maskawin.
Sedangkan secara terminologi berarti pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati untuk menimbulkan rasa cinta kasih. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa.
Kata ini berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar. Yakni mahram atau kata kerja yakni fi’il dari ”mahara-yamaharu-maharan”. Lalu dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr. Kemudian kata ini diadopsi dalam Bahasa Indonesia dengan kata yang sama. Lalu, apakah mahar berupa sandal jepit dan segelas air minum diperbolehkan?
Syarat Mahar Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, harga berharga. Meski tidak ada ketentuan banyak atau sedikit, namun mahar dianggap tidak sah jika dibayarkan dengan harta tak berharga.
Kedua, barang suci dan bisa diambil manfaatnya.
Ketiga, bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizin pemilik, namun tidak untuk niatan dimiliki. Karena pelaku berniat untuk mengembalikannya kelak.
Keempat, bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah apabila maskawin berupa barang yang tidak jelas keadaannya atau tidak disebutkan jenisnya.
Bentuk Maskawin Semua ulama sepakat bahawasanya membayar maskawin itu hukumnya wajib. Sedangkan macam-macamnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu : Mahar Musamma Adalah maskawin yang telah jelas dan ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam shigat akad.
Jenis ini dibedakan menjadi dua yaitu: Pertama, Musamma Mu’ajjal yakni yang segera diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya. Kedua, Musamma Ghair Mu’ajjal, yakni yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya akan tetapi ditangguhkan pembayarannya.
Berkenaan dengan pembayaran maskawin, maka wajib hukumnya apabila telah terjadi dukhul. Ulama sepakat bahwa membayar mahar menjadi wajib apabila telah berkhalwat (berdua-duan) dan juga telah dukhul.
Mahar Mitsil Adalah mahar dimana jumlah dan bentuknya menurut yang biasa diterima keluarga pihak istri karena tidak ditentukan sebelumnya dalam akad nikah. Imam Malik menjelaskan bahwa seorang laki-laki boleh memilih salah satu dari ketiga kemungkinan ada.
Kemungkinan pertama, seorang suami tidak perlu membayar maskawin kepada istrinya.
Kemungkinan kedua, suami membayar mahar mitsilnya. Kemungkinan ketiga, memilih membayar mahar mitsilnya sesuai dengan kemampuan. Dalam Konsep Hukum Maskawin adalah harta yang berhak didapatkan oleh seorang istri yang harus diberikan oleh sang suami, baik karena akad maupun persetubuhan hakiki.
Menurut Imam Maliki, mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan denganya. Menurut Imam Syafi’i adalah sesuatu yang diwajibkan. Sebab pernikahan atau persetubuhan atau lewatnya kehormatan perempuan dengan tanpa daya, seperti akibat susuan dan mundurnya para saksi.
Menurut Imam Hambali adalah pengganti dalam akad pernikahan baik itu ditentukan di dalam akad atau ditetapkan setelahnya dengan keridhoan kedua belah pihak atau hakim. (Wahbah Az-Zuhaili, 2007) Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat Pasal 1 yakni “Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam”.