Mengapa Para Sahabat Nabi dan Tabiin Tak Memiliki Karomah?

  • Share

Para sahabat Nabi Muhammad SAW merupakan auliya atau wali Allah sekaligus ulama. Manusia-manusia yang begitu dekat dengan Allah seperti halnya Nabi Muhammad SAW . Namun, jika diperhatikan, kisah-kisah karomah atau keistimewaan lebih banyak terdapat pada para wali setelah masa sahabat Nabi. Dengan kata lain, lebih banyak cerita karomahnya para wali ketimbang sahabat.

Istilah karomah, berasal dari bahasa Arab, “Karoma-Karim yang berarti mulia. Dalam kamus bahasa Indonesia sendiri, sepertinya tidak dikenal kata karomah. Tapi yang ada hanyalah kata “keramat”, sehingga kata karomah tersebut sering disebut dengan keramat.

Dan istilah keramat inipun, memang suatu peristiwa yang sepertinya sulit diterima oleh akal pikiran manusia pada umumnya. Meski demikian, karomah sering dijumpai dalam berbagai literatur keagamaan, termasuk dalam literatur agama-agama selain Islam.

Ceria tenang karomah dalam Islam jusru ada setelah sahabat Nabi. Tak ada kisah karomah tentang sahabat Nabi. Habib Luthfi bin Yahya dalam Secercah Tinta (2012) menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Muhammad, tidak perlu yang namanya karomah itu. Karena keimanan mereka langsung diterima oleh Rasulullah. “Dengan kata lain, tidak membutuhkan penguat lainnya berupa karomah itu,” tulisanya.

Mendekati keimanan para sahabat ialah golongan tabi’in yang hidup menjumpai para sahabat. Jaminan keimanan mereka langsung diketahui dari para sahabat Nabi. Walaupun mereka tidak melihat Rasulullah, mereka sudah bercermin kepada para sahabat Nabi.

Mereka menyadari kedudukan para sahabat yang hebat dan luar biasa, apalagi Rasulullah, tidak bisa diukur. Maka untuk meyakini dan beriman, tidak perlu adanya karomah. Tetapi setelah era tabi’in, karomah yang datang dari Allah itu perlu.

Perlu adanya karomah macam karomahnya Syaikh Abdul Qadir Jailani dan wali-wali lainnya. Munculnya karomah di tangan ulama-ulama besar seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk mengangkat kepercayaan masyarakat umum supaya lebih tebal terhadap mukjizat Nabi Muhammad.

Menurut Habib Luthfi, tujuan dari karomah-karomah ulama-ulama dan para wali ialah untuk menunjukkah mukjizat para Nabi terdahulu. Karomah-karomah itu membawa, menolong, dan menguatkan keyakinan orang-orang awam. Keyakinan orang awam dan kepercayaannya terhadap Al-Qur’an serta yang terkandung di dalamnya akan semakin tebal.

Karomah yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya tampak ketika hidup saja. Tetapi setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah.

“Dan bagi pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan karomah itu perlu diyakini secara baik,” tulis Habib Luthfi, sebagaimana dikutip laman Nahdlatul Ulama.

Bahkan empat imam madzhab sudah bersepakat mengenai karomah yang ada para wali ketika hidup maupun sudah wafat.
Wali menurut KH Sholeh Darat As-Samarani (gurunya KH Hasyim Asy’ari) adalah seorang ‘arif billah (mengetahui Allah) sekadar derajat dengan menjalankan secara sungguh-sunggu taat kepada Allah dan menjauhi ma’siyat. Artinya para wali itu menjauhi segala macam kemaksiyatan berbarengan dengan selalu bertaubat kepada Allah. Sebab wali itu belum kategori ma’shumin (terjaga) seperti Nabi. Maka wali belum bisa meninggalkan ma’siyat secara penuh. Itu sebabnya, mereka disebut waliyullah.

Keberadaan wali yang sedemikian agung ini mendapatkan keistimewaan dalam hidupnya. Mereka dalam hidupnya selalu mengingat dan menggantungkan diri, dan menyatukannya pada Allah. Hati selalu menghadap dan pasrah dengan takdir Allah saja. Itulah definisi sederhana mengenai wali menurut Mbah Sholeh Darat.

Adapun karomah menurut Mbah Sholeh Darat sesuatu yang nulayani adat (berbeda dari sewajarnya) jika dilihat secara kasat mata. Mereka yang mendapat karomah selalu menunjukkan kepribadian baik dan meniru jejak Rasulullah dengan bekal syariah dan baik secara ideologi serta perilakunya.

Karomah yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya tampak ketika hidup saja. Tetapi setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi pengikut ahlussunnah wal jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan karomah itu perlu diyakini secara baik. Bahkan empat imam madzhab sudah bersepakat mengenai karomah yang ada para wali ketika hidup maupun sudah wafat.

Empat Mazhab
Lalu, apakah keempat mazhab itu wali yang memiliki karomah Ustaz Ahmad Sarwat, dari Rumah Fiqih, menjelaskan keempat imam mazhab itu bukan tokoh dongeng dunia hayal. “Mereka tidak punya ilmu sakti mandragunanan digjaya, juga tidak punya ilmu ghaib dan kesaktian semacam tokoh dunia pewayangan. Mereka tidak bisa menghilang, atau menunjuk batu menjadi emas, atau melakukan tapa di pinggir sungai,” tuturnya.

Sebaliknya, mereka adalah sosok para intelektual, ilmuwan dan insan cerdas secara nalar dan logika. Mereka tidak dikenal kecuali lewat ilmu-ilmu logika yang teramat eksak.

Para imam mazhab, lanjutnya, adalah tokoh besar dan penemu disiplin ilmu, seperti halnya seorang Pithagoras untuk ilmu trigonometri, atau Isaac Newton dalam ilmu fisika, atau Einstain dalam ilmu nuklir.

“Jadi tidak ada hubungannya dengan urusan karomah, keajaiban, atau hal-hal yang tidak masuk akal lainnya. Urusan yang ghaib seperti itu hanyalah dongeng para penghayal yang jauh dari ilmu eksak. Biasa dijadikan hikayat yang tidak jelas ujung pangkalnya oleh para tokoh tasawuf yang menyimpang,” ujarnya.

Ilmu Hukum dan Logika
Ilmu yang dikembangkan oleh para imam mazhab justru ilmu logika nalar yang sehat dan positif. Tujuannya untuk mendapatkan kesimpulan hukum dari sumber-sumbernya yang utama, seperti Al-Quran dan Sunnah Rasululah SAW.

Mengingat bahwa kedua sumber utama ajaran Islam itu tidak diturunkan dalam bentuk bahasa hukum, tetapi berupa prosa, kisah, laporan pandangan mata atau kutipan statemen.

Sehingga masih dibutuhkan sebuah kerja keras untuk membuat kesimpulannya dengan cara membahas keduanya dengan teliti, cermat, logis dan kritis. Hasilnya adalah sebuah karya berisi kesimpulan-kesimpulan hukum baik urusan ibadah maupun muamalah.

Dan produk yang langsung kita rasakan adalah apa yang terkandung di dalam ilmu fiqih. Sehingga setiap ibadah yang Allah perintahkan itu bisa dipahami teknisnya dengan sedetail-detailnya, lengkap dengan kandungan hukumnya, bahkan bisa dibuatkan kerangka syarat, rukun, sunnah dan ketentuannya secara rinci.

Kerja-kerja itu adalah ijtihad yang kalau pun hasilnya salah, tetap saja sudah dijamin dengan 1 pahala. Dan seandainya benar, maka pahalanya ada dua.

Artikel asli : sindonews.com

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *